Ayi Yusri A. Tirmidzi
“Selayaknya kurban tak hanya dimaknai sebagai ritus hari raya saja, hanya seremoni penyembelihan belaka, namun juga sebagai jalan spiritual untuk mematangkan jiwa, mendekatkan diri kepada-Nya, serta menyambung persaudaraan dalam pengabdian kepada agama.”
Quran Cordoba - Alhamdulillah, kita telah berjumpa dengan 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Sebagaimana masyhur di antara kita, kurban adalah salah-satu ajaran dalam Islam yang memiliki nilai paling mulia. Hari ini, Ahad (08/06/2025), Masyaallah Alhamdulillah Quran Cordoba kembali melaksanakan kurban dengan menyembelih 1 ekor sapi jantan yang gagah dan segar. Berat hidupnya, lebih dari 700 kg. Sebagian besar karyawan hadir dan turut serta membantu proses penyembelihan hingga pengurusan.
Namun selain ritual penyembelihan itu, setiap kali bulan Dzulhijjah tiba, ada satu sayup sunyi yang acap kali menyapa batin: apakah selama ini kita sudah berkorban? sudah siap kah kita berkorban? bukan hanya lewat penyembelihan, namun juga melalui penghambaan. Demikian sebagaimana Allah Swt. berfirman:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian.” (QS. Al-Hajj: 37)
Ayat ini menjadi titik tolak penting bahwa hakikat kurban bukan hanya pada materi, melainkan pada makna. Imam al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menafsirkan bahwa ketakwaan dalam ayat ini menunjuk pada keikhlasan niat, bersihnya hati dari riya’, serta kesediaan berkorban untuk mendekatkan diri pada Allah, baik dengan harta, waktu, tenaga, maupun pengabdian.
Kurban tidak hanya ritual tahunan. Ia adalah puncak kesadaran spiritual dan sosial, sebuah ibadah yang menyatukan dimensi ilaahiyyah (penghambaan) dan dimensi insaaniyyah (kemanusiaan).
Mungkin sebab keterbatasan finansial, sebagian di antara kita belum mampu membeli hewan kurban. Namun, bukankah kita masih bisa berkorban? Barangkali tenaga yang dikeluarkan, waktu yang diberikan, atau mungkin sedikit harta yang coba kita upayakan. Dalam hal ini, saya teringat bagaimana Al-Ghazali menulisnya dengan indah dalam Ihya’ ‘Ulumuddin bahwa kedekatan (al-qurbu) dengan Allah tidak tergantung pada banyaknya pemberian tapi pada kejernihan hati (naqaa`i al-sariirah).
Demikian artinya, jika belum mampu kita untuk berlomba-lomba dalam mengeluarkan “harta” untuk kebaikan, upayakan lah dengan sungguh-sungguh untuk berlomba dalam keikhlasan. Karenanya, jika belum mampu berkurban maka tetap lah berkorban. Sungguh kemudahan dari-Nya ada di setiap perintah-Nya.
Apapun yang dapat kita upayakan, maka upayakan dengan sebaik mungkin. Berkurban lah semampu kita. Sembelih lah hawa nafsu kekufuran, ketakpedulian, ketergantungan pada dunia yang tak seberapa, dan lainnya. Semua itu bagian dari pengorbanan ruhani yang hakekatnya akan menyucikan jiwa, perlahan menuju kesempurnaan (al-ruuh al-kaamil). Sebab setiap bentuk pengabdian yang diniatkan lillahi ta'ala adalah bagian dari ruh kurban. Maka tak ada yang terlalu miskin untuk mencintai dan mengabdi pada agama ini dengan pengorbanan.
Jika kita merefleksikan diri pada sirah asalnya, ibadah kurban adalah warisan dari Nabi Ibrahim As., sang bapak tauhid yang bersedia mengorbankan putranya atas perintah Allah. Inilah puncak dari ikhlas totalitas, sebuah pengorbanan yang bukan karena kehendak dunia, tapi karena kepatuhan kepada Rabbul ‘Alamin. Tidak kah dari sini kita akan belajar untuk berjiwa ikhlas?
Ibadah kurban sejatinya adalah pengingat bahwa manusia hidup bukan untuk dirinya sendiri. Ia adalah makhluk pengabdi, dan pengabdian itu mesti tercermin dalam hal-hal kecil sekalipun di setiap keseharian kita, di sinilah kita mulai belajar kurban dengan berkorban.
Di antara hal yang penting untuk kita refleksikan dari ibadah kurban ini adalah kesungguhan kita dalam mendekatkan diri kepada sang pencipta dengan membaca dan menyelami setiap makna yang terkandung dalam Al-Qur`an, firman-Nya yang agung. Al-Qur`an adalah petunjuk hidup, dan semangat kurban adalah manifestasi dari nilai-nilainya.
Maka di bulan Dzulhijjah ini, mari hidupkan kembali semangat berkorban. Di antara caranya adalah dengan :
1) menyempatkan diri membaca dan mentadabburi Al-Qur’an setiap hari;
2) menghadiahkan mushaf terbaik kepada orang tua, guru, atau saudara;
3) mewakafkan Qur’an bagi masjid atau pesantren yang membutuhkannya; dan juga
4) senantiasa mendukung gerakan dakwah melalui literasi Qur’ani.
Untuk itu, Quran Cordoba menghadirkan pilihan Mushaf wakaf, eksklusif, dan edisi tematik yang bisa menjadi bentuk pengabdian Anda pada agama — bukan hanya dengan menyembelih hewan, tapi juga dengan menyebarkan cahaya wahyu.
Demikian bahwa kurban bukan milik orang kaya. Kurban adalah milik mereka yang rela berkorban demi Tuhan. Tak semua orang mampu membeli kambing dan sapi, tapi semua orang bisa belajar memupuk niat yang suci, menyumbang waktu, tenaga, dan hati. Dan siapa pun yang mau berkorban karena Allah, ia telah ikut menyembelih sesuatu dalam dirinya yang selama ini menahan kedekatannya pada sang pencipta.
Wallaahu a’lam []
Ayi Yusri A. Tirmidzi